Pada masa-masa terdahulu, Indonesia memiliki banyak sekali kerajaan yang tentunya tak bisa lepas dengan sejarahnya.
Di bagian Maluku Utara, terdapat sebuah kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Ternate.
Kerajaan Ternate merupakan kerajaan Islam tertua dari empat kerajaan Islam lainnya di Kepulauan Maluku yaitu Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Di samping itu, kerajaan ini juga dikenal pada masa kejayaannya akan perdagangan rempah-rempahnya yang mencapai Eropa.
Namun, siapa sangka. Seiring berjalannya waktu, bangsa Portugis datang untuk menguasai pasar rempah-rempah dan bahkan menaklukkan wilayah seluruh wilayah Maluku Utara.
Hingga Belanda tiba, kemunduran kerajaan ini semakin terlihat.
Daftar Isi
Sejarah Kerajaan Ternate
1. Berdirinya Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate awalnya bernama Kerajaan Gapi.
Hal ini bermula karena dahulu Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang pada akhirnya berkembang besar menjadi kampung besar atau kota.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat menjadi lebih suka menyebut Kerajaan Gapi dengan Kerajaan Ternate.
Di samping itu, sejarah awal berdirinya Kerajaan Ternate disebabkan karena bahaya yang sering datang dari para perompak.
Mulanya, di Ternate terdapat empat kampung atau empat klan yang masing-masing dipimpin oleh momole (kepala marga).
Merekalah yang menjadi koneksi pada awalnya dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru untuk mencari rempah-rempah.
Maka semakin bervariasilah penduduk Ternate sejak saat itu dengan bermukimnya pedagang Jawa, Arab, Melayu, dan Tionghoa.
Hal ini juga membuka peluang besar bagi pengerusuh atau pemberontak datang ke pulau tersebut.
Atas inisiatif Momole Guna (pempimpin Tobona), maka diadakanlah musyawarah untuk membentuk organisasi yang kuat (lalu kemudian melebar menjadi sebuah kerajaan) dan mengangkat pemimpin tunggal sebagai raja yang pada awalnya untuk mengantisipasi dan menghadapi akan bahaya datangnya para perompak tersebut.
Raja yang terpilih dari musyawarah tersebut adalah Momole Ciko (1257-1272), yang kemudian mendapat gelar sebagai Baab Mashur Mulamo.
Pengaruh terpilihnya beliau sebagai raja pertama Kerajaan Ternate ternyata cukup berpengaruh bagi masyarakat sebagai sejarah.
Terpilihnya Baab Mashur Mulamo sebagai raja pertama berarti merupakan awal berjalannya sistem Kerajaan Ternate, juga awal perencanaan terharap nasib masyarakat Ternate ke depannya, dan juga maka tak heran jika sampai saat ini banyak yang menyebut beliau merupakan pendiri Kerajaan Ternate.
Pada awal abad ke-13, pulau Ternate mulai dikunjungi oleh para peloncong dan pedagang dari segala penjuru, karena pada masa itu kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar, bahkan sampai dijuluki dengan sebutan “The Spicy Island”, sehingga juga menimbulkan peluang besar akan datangnya para perompak.
Selain Kerajaan Ternate, karena kesuburan tanah pulau Maluku, ternyata Kejaraan Tidore—dan juga dua kerajaan lain sebenarnya—pun merupakan sama halnya penghasil rempah-rempah.
Seiring berjalannya waktu, kedua kerajaan tersebut berakhir saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku.
Hal yang diperebutkan dalam persaingan tersebut di antara Kerajaan Ternate dan Kerjaan Tidore tentunya adalah di sektor perdagangan.
Dari persaingan ini, pada akhirnya, munculah dua persekutuan dagang yang dipimpin oleh masing-masing kerajaan yang disebut dengan Uli-Lima (dipimpin oleh Ternate) dan Uli-Siwa (dipimpin oleh Tidore).
Uli-lima berarti persekutuan lima bersaudara yang terdiri dari Bacan, Seram, Obi, Ambon, yang dipimpin oleh Kerajaan Ternate.
Pada masa pemerintahan Sultan Babullah (1570), kerajaan Ternate mencapai puncak keemasan dan bahkan disebutkan daerah kekuasaannya melupas hingga ke Filipina.
Di samping itu, Uli-Siwa berarti persekutuan sembil bersaudara yang terdiri dari Halmahera, Jailalo, hingga ke Papua, yang dipimpin oleh Kerajaan Tidore.
Karajaan ini mencapai masa keemasan di bawah pemerintahan Sultan Nuku (1780).
2. Letak Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate terletak di Kepuluan Maluku, di antara Sulawesi dan Papua.
Sedangkan kota Ternate sendiri berada di bawah kaki gunung api Gamalama di pulau Ternate itu sendiri di Maluku Utara.
Luas yang dimiliki kepulauan ini adalah 547.736 km2.
Kepulauan ini memiliki delapan pulau yaitu Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti, Pulau Mayau, dan Pulau Tifure, Pulau Maka, Pulau Mano, dan Pulau Gurida.
Sebagian besar kepulauan Ternate adalah daerah bergunung dan berbukit.
Terdiri atas pulau vulkanis dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah Rogusal (Pulau Ternate, Pulau Hiri, dan Pulau Moti) dn Rensika (Pulau Mayau, Pulau Tifure, Pulau Maka, Pulau Mano, dan Pulau Gurida).
Kepulauan Ternate juga ditandai dengan keberagaman ketinggian dan permukaan laut.
Letak kerajaan bisa dibilang sangat strategis dalam dunia perdagangan pada masa itu karena sangat mudah sekali untuk dijangkau.
Bangsa-bangsa luar terutama pedagang yang bertujuan untuk datang ke sana melewati rute tersebut sehingga bahkan menjadi jalur lintas pelayaran internasional di Nusantara.
Tidak heran jika banyak suku bangsa yang menyambangi wilayah Ternate, seperti Melayu, Jawa, Arab juga Cina.
Karena hal inilah jalur tersebut menjadi jalur palayaran sekaligus perdagangan terpenting di Nusantara bagian Timur waktu itu.
Keadaan seperti ini tentunya telah mempengaruhi aspek-aspek kehidupan bermasyarakat Ternate, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
3. Silsilah Kerajaan Ternate
Permulaan awal masyarakat Ternate dipimpin oleh para momole.
Setelah dibentuknya sebuah kerajaan, jabatan kepemimpinan dipegang oleh raja atau disebut dengan kolano,
Raja pertama yang memegang kekuasaan kerajaan Ternate adalah Momole Ciko atau dikenal dengan Baab Mashur Mulamo.
Kemudian dilanjutkan dengan beberapa raja-raja penerusnya seperti Jamin Qadrat, Komala, Kalabata, dan seterusnya.
Mulai pertengahan abad ke-15, pada masa pemerintahaan Sultan Zainal Abidin, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan.
Di bawah sultan sebagai kedudukan tertinggi kerajaan, terdapat jogogu (perdana menteri) dan fala raha sebagai penasihat.
Fala raha merupakan empat klan kesultanan yang menjadi representasi para momole masa lalu.
Bila seorang sultan tak memiliki keturunan maka penerusnya akan dipilih oleh salah sati klan tersebut.
Berikut adalah silsilah raja-raja Kerajaan Ternate secara lengkap.
KOLANO DAN SULTAN TERNATE | MASA JABATAN |
Baab Mashur Malamo | 1257 – 1277 |
Jamin Qadrat | 1277 – 1284 |
Komala Abu Said | 1284 – 1298 |
Bakuku (Kalabata) | 1298 – 1304 |
Ngara Malamo (Komala) | 1304 – 1317 |
Patsaranga Malamo | 1317 – 1322 |
Cili Aiya (Sidang Arif Malamo) | 1322 – 1331 |
Panji Malamo | 1331 – 1332 |
Syah Alam | 1332 – 1343 |
Tulu Malamo | 1343 – 1347 |
Kie Mabiji (Abu Hayat I) | 1347 – 1350 |
Ngolo Macahaya | 1350 – 1357 |
Momole | 1357 – 1359 |
Gapi Malamo I | 1359 – 1372 |
Gapi Baguna I | 1372 – 1377 |
Komala Pulu | 1377 – 1432 |
Marhum (Gapi Baguna II) | 1432 – 1486 |
Zainal Abidin | 1486 – 1500 |
Sultan Bayanullah | 1500 – 1522 |
Hidayatullah | 1522 – 1529 |
Abu Hayat II | 1529 – 1533 |
Tabariji | 1533 – 1534 |
Khairun Jamil | 1535 – 1570 |
Babullah Datu Syah | 1570 – 1583 |
Said Barakat Syah | 1583 – 1606 |
Mudaffar Syah I | 1607 – 1627 |
Hamzah | 1627 – 1648 |
Mandarsyah | 1648 – 1650 (masa pertama) |
Manila | 1650 – 1655 |
Mandarsyah | 1655 – 1675 (masa kedua) |
Sibori | 1675 – 1689 |
Said Fatahullah | 1689 – 1714 |
Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin | 1714 – 1751 |
Ayan Syah | 1751 – 1754 |
Syah Mardan | 1755 – 1763 |
Jalaluddin | 1763 – 1774 |
Harunsyah | 1774 – 1781 |
Achral | 1781 – 1796 |
Muhammad Yasin | 1796 – 1801 |
Muhammad Ali | 1807 – 1821 |
Muhammad Sarmoli | 1821 – 1823 |
Muhammad Zain | 1823 – 1859 |
Muhammad Arsyad | 1859 – 1876 |
Ayanhar | 1879 – 1900 |
Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi) | 1900 – 1902 |
Haji Muhammad Usman Syah | 1902 – 1915 |
Iskandar Muhammad Jabir Syah | 1929 – 1975 |
Haji Mudaffar Syah (Mudaffar Syah II) | 1975 – 2015[8] |
4. Masa Kejayaan Kerajaan Ternate
1. Bidang Ekonomi
Perkiraan abad ke-13 hingga abad ke-19, Kerajaan Ternate mempunyai andil besar di kawasan timur Nusantara.
Perdagangan rempah-rempah melejit hingga sampai ke berbagai penjuru,
Sejak abad ke-13, Ternate sudah dikenal sebagai pusat perdangan rempah di seluruh dunia.
Tanah di kepulauan Maluku yang subur dan juga adanya hutan rimba banyak memberikan hasil berupa cengkih dan pala.
Cengkih dan pala merupakan rempah-rempah yang sangat dibutuhkan untuk ramuan obat-obatan dan bumbu masak.
Karenanya, rempah-rempah sangat dibutuhkan di daerah dingin seperti di Eropa karena rempat-rempah mengandung bahan pemanas.
Berbagai saudagar asing seperti Arab, India, Tingohoa serta Persia datang ke Ternate untuk berdagang hingga akhirnya para pedagang lain dari Eropa seperti Inggris, Portugis, Belanda, dan Spanyol juga hadir di wilayah ini, khususnya untuk mencari rempah-rempah: cengkeh dan pala.
Mereka, para pedagang asing, datang ke Ternate mencari rempah-rempah dengan menjual barang perhiasan, pakaian, dan beras untuk ditukarkan.
Ramainya perdagangan memberikan keuntungan sangat besar untuk perkembangan perekonomian Kerajaan Ternate.
Karena saking terkenalnya Kerajaan Ternate dengan rempah-rempahnya, Ternate sebagai pusat perdagangan internasional telah menjadi incaran negara-negara Eropa.
Nicolas de Country, seorang bangsawan Italia, telah membuktikan betapa bernilainya Bandar Ternate.
Ia tinggal di Ternate selama dua puluh lima tahun, dan telah menjadi orang pertama yang menulis tentang kepulauan Maluku.
Pada akhirnya, tulisan-tulisan de Country itu menjadi acuan pembuatan peta dunia tahun 1460.
Peta itulah yang menurut Rafaer menjadi pendorong bagi bangsa Eropa untuk menguasai kepulauan rempah-rempah (baca: Maluku).
Kerajaan Ternate juga memperoleh pendapatannya dari sistem perpajakan.
Pungutan negara yang sangat sederhana pada zaman-zaman yang lalu sudah jelas bahwa menangani pengeluaran yang timbul sendiri-sendiri (contingent) dengan jalan pemungutan yang sendiri-sendiri pula sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan material maupun finansial adalah suatu konsekuensi logis dari pemikiran yang sederhana
Kaitannya dengan sistem pembiayaan negara dalam sebuah negara tradisional, negara memiliki sumber pendapatan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya.
Sumber pendapatan tersebut bisa diperoleh melalui tanah Sultan yang diberikan kepada rakyat untuk dikelola dan hasilnya sebagian diserahkan kepada Ssultan sebagai imbalan.
Di samping memperoleh pendapatan atas penggarapan tanah juga memperoleh pajak dengan persetujuan perintah dipungut daerah kesultanan, yakni dalam bentuk ngase (pembagian) damar yang berjumlah 17,50 per kepala dan setiap tahun dari semua orang mengumpulkan damar, juga ngase kebun, ngase kayu, ngase perahu, ngase bambu, ngase dendeng rusa, dan ngase kalero.
Jadi, pendapatan kesultanan pada umumnya diambil dari pajak dan upeti.
Upeti merupakan pemberian sesuatu barang kepada raja.
Pemberian barang tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih rakyat kepada raja karena mendapat perlindungan atas segala haknya dan menjalin hubungan yang harmonis antara rakyat dan raja.
Mengingat karena harmonisasi akan menciptakan kerukunan dan kedamaian antara sesama sebagai makhluk sosial.
Pajak dan upeti yang diberikan oleh rakyat merupakan sumber keuangan negara yang kemudian dikelola untuk kepentingan negara.
Sebelum adanya pengaruh kebijakan kolonial terhadap pemerintahan di kesultanan, keuangan negara cenderung kacau.
Hal ini karena keuangan pribadi dan keuangan keluarga dicampur-adukan dengan keuangan negara.
Setelah kehadiran kolonial Belanda, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan tentang sistem pengelolaan keuangan.
Tujuannya adalah untuk menghindari pemborosan keuangan negara pada acara-acara yang sifatnya seremoni.
Uang yang diperoleh dari laba usaha dan harta milik yang lainnya akan diurus tersendiri terlepas dari sultan.
Sedangkan keuangan yang bersumber dari ngase atau upeti digunakan untuk pembiayaan negara.
Kebijakan tersebut memudahkan pihak kesultanan untuk mengelola keuangan negara.
Di Ternate, raja adalah kunci utama perdagangan mengumpulkan cengkeh dari tangan masyarakat sebagai hasil pajak, dan hanya memberikan sedikit imbalan kepada masyarakat, atau dalam keadaan tertentu mengambil dengan paksa atau menyita hasil bumi itu untuknya.
Sehingga perdagangan rempah-rempah tidak membawa keuntungan bagi masyarakat biasa, yang mendapat untung besar hanyalah raja dan bawahan-bawahannya
2. Bidang Sosial
Karena menjadi pusat perdagangan internasional, kehidupan bermasyarakat di Ternate banyak sekali dipengaruhi oleh para pendatang asing.
Kerajaan Ternate mulanya bukanlah kesultanan yang menganut agama Islam.
Agama dan kepercayaannya masih belum bisa diketahui dengan jelas.
Kedatangan saudagar dari berbagai penjuru seperti Melayu, Arab dan Gujarat yang beragama Islam adalah pintu masuk datangnya agama Islam di kepulauan tersebut.
Islam diperkenalkan dan disebarkan (walau bisa saja secara tidak langsung) dengan adanya interaksi kepada para penduduk ketika melakukan transaksi perdagangan, diduga kuat berasal dari Malaka dan Kalimantan maupun Jawa.
Para pedagang tentu saja memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan Islam di tengah masyarakat, walaupun kerajaan baru memeluk Islam pada pertengahan abad ke-15.
Pada tahun 1512, Portugis datang ke kepulau Maluku, yang pada awalnya untuk menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah.
Peristiwa ini membawa pengaruh bangsa Ternate terhadap penyebaran agama Katholik yang dibawa oleh bangsa Portugis tersebut.
Pada tahun 1534, agama Katholik telah memiliki pijikan kuat di Halmahera, Ternate, dan Ambon.
Karena sebelumnya masyarakat Ternate sudah (kebanyakan) memeluk Islam, perbedaan agama karena menyebarnya agama Katholik dimanfaatkan oleh pihak Portugis untuk memancing pertentangan antara para penduduk agama itu.
Dan bila pertentangan sudah terjadi, maka pertentangan akan lebih diperuncing dengan campur tangan orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa.
Ketika Portugis telah berhasil dikalahkan dan pergi dari kepulauan Maluku, kejayaan Ternate perlahan meredup.
Tak lama kemudian, datanglah kompeni Belanda dan menjajah kepulauan tersebut.
Akibatnya, semua agama yang sudah beragama Katholik dipaksa harus berganti nama menjadi Protestan.
Rakyat juga semakin tertekan dan masalah-masalah sosial lainnya terus bermunculan.
Oleh karenanya, masyarakat Ternate menjadi sangat marah terhadap kompeni belanda.
Beberapa kali perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan, dari zaman ke zaman, namun selalu tidak berhasil.
Orang-orang Belanda sangat mahir memainkan taktik devide et impera (politik adu domba) untuk memecah belah orang-orang Ternate sendiri.
Di bawah pimpinan Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1902- 1915), Sultan Ternate terakhir yang masih memiliki kekuatan politik, dipaksa turun tahta atas tudingan pemberontakan, dan berakhir diasingkan ke Bandung hingga akhir khayatnya, dan Kesultanan Ternate sepenuhnya berada di bawah kendali Belanda.
3. Bidang Budaya
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa Ternate merupakan kerajaan Islam tertua di Kepulauan Maluku.
Tentunya, budaya yang ditinggal tidak lepas dengan ajaran-ajaran syariat Islam.
Sebagai kerajaan Islam terbesar di wilayah timur Nusantara, pengaruh Ternate terhadap pengenalan dan pemakaian syariat-syariat Islam di antara masyarakat Nusantara Timur, bahkan Filipina sangatlah berarti.
Islam kini sudah menjadi salah satu identitas yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat Ternate.
Hal ini sangat jelas dengan berdirinya kerajaan Masjid Kesultanan Ternate dan beberapa masjid lainnya.
Budaya Islam di Ternate yang paling menonjol adalah Ritual Kolano Uci Sabea.
Kolano Uci Sabea berarti sultan turun ke masjid untuk sholat dan berdoa.
Budaya ini sangat unik dan berbeda dari kesultanan lainnya di Indonesia.
Dalam proses ini, sang sultan ditandu dan dikawal masyarakat dari kedaton menuju masjid sultan.
Usai melaksanakan sholat taraweh, sultan akan kembali ke kedaton dan ditandu seperti ketika diberangkatkan ke masjid.
Di kedaton, sultan bersama permaisuri akan memanjatkan do’a di ruangan khusus tepatnya di atas makam para leluhur.
Usai berdo’a, sultan dan permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, kemudian mencium kaki sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan.
Budaya ini dilakukan empat kali dalam setiap tahunnya, yaitu malam qunut, malam lailatul qadar, hari raya idul fitri serta idul adha.
4. Aspek Keagamaan dan Spiritualitas
Sebelum masuknya agama di kepulauan Maluku, masyarakat Maluku sudah mengenal semacam kepercayaan yang disebut “agama asli”.
Agama asli atau kepercayaan ini pada umumnya adalah kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan animisme adalah kepercayaan kepada makhlus halus dan roh yang asas kepercayaan yang pada awalnya muncul di kalangan primitif.
Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini (seperti kawasan tertentu, gua, pohon, batu besar, dan lain-lain) mempunyai jiwa yang harus dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu manusia, dan malah membantu mereka dari roh jahat dalam kehidupan keseharian mereka.
Sedangkan kepercayaan dinamisme merupakan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempat-tempat tertentu.
Pola kepercayaan lama ini masih tetap ada pada penduduk di daerah-daerah pedalaman Maluku yang masih belum terjangkau oleh agama Islam dan lainnya.
Di Maluku Utara, kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan animisme dan dinamisme sangat terkenal.
Penyembahan selalu dilakukan terhadap roh nenek moyang yang di Ternate disebut Gomanga.
Peraturan-peraturan yang berasal dari nenek moyang sampai sekarang dipegang teguh dan takut untuk dilanggar karena dipercaya dapat mendatangkan malapetaka.
Berbagai roh jahat yang dikenal masyarakat yaitu Hatemadubo, Meki, dan Goda, dan masing-masing dipercaya mendiami pohon-pohon, gunung, gua.
Selain kepercayaan animisme dan dinamisme, masyarakat Ternate mempunyai anggapan bahwa dunia ini dengan segala isinya diciptakan oleh roh tertinggi yang mereka sebut dengan Gikirimoi.
Gikiri berarti pribadi, sedangkan Moi berarti satu.
Jadi, Gikirimoi adalah suatu pribadi yang tidak terlihat.
Masyarakat berkeyakinan bahwa setelah GIkirimoi menyelesaikan tugas menciptakan bumi dan segala isinya, maka ia tidak mengambil peran lagi, melainkan menyerahkan kekuasaannya kepada manusia pertama yang ia ciptakan dan manusia inilah yang menjadi nenek moyang mereka yang selalu dipuji.
Sementara itu, agama Islam memasuki kepulauan Maluku melalui perdagangan dan mubaliq-mubaliq Islam yang ikut bersama mereka.
Penyebarannya secara tidak langsung melalui interaksi antara pedagang dan pembeli.
Raja Ternate yang pertama kali memeluk Islam adalah Kolano Marhum (1465-1486), kemudian diikuti oleh seluruh kerabat dan pejabat Istana.
Setelah tahta kerajaan jatuh kepada putranya, Zainal Abidin (1486-1500), Islam mulai dibangkitkan secara besar-besaran.
Gelar raja yaitu kolano diganti menjadi sultan, kemudian Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, diberlakukan syariat Islam terhadap kehidupan bermasyarakat, serta menjadikan lembaga kerajaan sesuai hukum Islam yang juga melibatkan ulama.
Pada tahun 1512, Portugis datang ke kepulau Maluku, yang pada awalnya untuk menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah.
Peristiwa ini membawa pengaruh bangsa Ternate terhadap penyebaran agama Katholik yang dibawa oleh bangsa Portugis tersebut.
Pada tahun 1534, agama Katholik telah memiliki pijikan kuat di Halmahera, Ternate, dan Ambon.
Tak lama kemudian, datanglah kompeni Belanda dan menjajah kepulauan tersebut.
Akibatnya, semua agama yang sudah beragama Katholik dipaksa harus berganti nama menjadi Protestan.
Pada Zaman kependudukan Jepang (1942-1945) dalam segi beragama dan intelektual terdapat penekanan-penekanan dan perlawanan yang keras dari pihak jepang.
Perkumpulan-perkumpulan ibadah masih berjalan seperti biasa namun selalu diliputi dengan suasana ketakutan dan ketidak-bebasan.
Dalam keadaan-keadaan darurat tentara Jepang tidak segan-segan menggunakan rumah-rumah ibadah seperti masjid dan gereja sebagai gudang.
Keberadaan agama dapat dikatakan tidak berkembang, baik agama Islam maupuan Kristen.
Pendakwah Islam di majid-masjid dan langgar-langgar mendapatkan pengawasan keras dari Jepang.
Jepang mengganggap bahwa keberadaan perkumpulan agama berbahaya terhadap stabilitas pemerintahan Jepang.
Ibadah Islam tidak dapat dijalankan secara baik dan sempurna.
Hal ini bisa dilihat dari rukun Islam yang kelima yaitu Ibadah Haji tidak diberi kesempatan oleh Jepang karena hubungan dengan dunia luar ditutup sama sekali.
Ketika memasuki zaman kemerdekaan 1945 hingga sekarang, penduduk Maluku termasuk Ternate sangat religius.
Islam dan Kristen melakukan Ibadah menurut keyakinan masing-masing secara damai, tentram dan toleran.
Kehidupan beragama yang rukun ini kemungkinan sudah terbina sejak dihidupkannya tradisi persaudaraan secara adat pada masa lampau yaitu yang dikenal sebagai ikatan Pela.
Masyarakat juga sadar akan arti keyakinan agama masing-masing sesuai apa yang dikehendaki oleh falsafah Negara Pancasila.
Walaupun golongan besar penganut agama adalah Islam dan Kristen, penganut animisme dan dinamisme masih dapat dijumpai pada beberapa suku terasing di pedalaman pulau Seram, Buru, Halmahera, dan beberapa pulau di Maluku Tenggara.
5. Runtuhnya Kerajaan Ternate
1. Bidang Politik
Usai menaklukkan Malaka, rombongan besar Portugis bersiap melanjutkan misi.
Sasarannya kemudian adalah Maluku, kepulauan di Timur yang merupakan surge rempah-rempah.
Puluhan kapal yang mengangkut ratusan orang pun disiapkan untuk menjelajahi samudera yang mengelilingi kawasan Nusantara.
Armada tersebut tiba di awal November tahun 1512 di bawah kepemimpinan Fransisco Serrao.
Atas persetujuan Sultan Bayanullah, Portugis diijinkan untuk membangun pos-pos dagang di Ternate.
Karena tujuan kedatangan Portugis untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, Portugis harus menaklukan Ternate dan kerajaan sekitar terlebih dahulu.
Dalam jangka waktu yang tak begitu lama, Spanyol juga berlabuh ke kepulauan tersebut.
Dua bangsa bersaudara tersebut bertemu di Maluku untuk saling menanamkan pengaruh demi memperebutkan rempah-rempah.
Kedua kerajaan besar yaitu Ternate dan Tidore sebenarnya sama-sama berkeinginan Portugis untuk bekerja sama.
Karena kedatangan Spanyol, Portugis mau tak mau harus menentukan satu pilihan.
Akhirnya, Portugis memilih bersekutu dengan Ternate, karena mereka berpendapat Ternate lebih kuat.
Di sisi lain, pihak Spanyol memihak kerajaan Tidore.
Perselisihan di antara dua kebangsaan barat ini pun terjadi.
Namun, untuk menghindari adanya peperangan, Paus yang ada pada waktu itu turun tangan dengan menentukan garis batas antara kedua kerajaan wilayah Timur dengan melalui Perjanjian Saragosa.
Perjanjian Saragosa berisi bahwa pihak Spanyol harus pindah ke negara Filipina, sedangkan Portugis tetap dapat menguasai beberapa daerah di Maluku.
Ketika Portugis tiba di Kepulauan Maluku, dua kerajaan Islam terbesar di kawasan itu, yakni Kesultanan Ternate dan Tidore, sedang berseteru.
Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan Portugis untuk menjajaki kemungkinan turut serta dalam perseteruan tersebut.
Dikatakan bahwa Sultan Bayanullah tewas dan meninggalkan pewaris yang masih sangat belia, yaitu Pangeran Hidayat dan Pangeran Abu Hayat.
Maka Permaisuri Nukila yang berasar dri Tidore bermaksud untuk menyatukan Ternate dan TIdore dalam satu mahkota.
Namun, adik almarhum Sultan Bayanullah, Pangeran Tarruwese bermaksud untuk merebut kekuasaan tersebut untuk dirinya sendiri.
Intinya, terjadi perseturuan antara Kubu Permaisuri Nukila yang didukung oleh Tidore dan Pangeran Tarruwese yang didukung oleh Portugal.
Singkat cerita, Pangeran Tarruwese memenangkan pertikaian tersebut berkat bantuan Portugis tentunya.
Namun, Pangeran Tarruwese harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya telah dikhianati oleh Portugis.
Portugis menyingkirkan Pangeran Tarruwese dengan cara membunuhnya, karena dianggap mengganggu Portugal dalam menjalankan pekerjaannya.
Secara otomatis, Abu Hayat naik tahta sebagai Raja, yang diberi gelar dengan Abu Hayat II.
Pangeran Hidayat tentu saja tidak diperhitungkan untuk diangkat sebagai raja karena beliau wafat ketika perang dengan pangeran Tarruwese.
Ternyata, Sultan Abu Hayat II sangat membenci Portugis karena beliau menganggap Portugis sudah terlalu mencampuri urusan kesultanan.
Akhirnya, Sutan Abu Hayat II diasingkan ke Malaka hingga akhir hayatnya dengan alibi sebagai otak pembunuhan Gubernur Portugis Gonzalo Pereira.
Atas pengaruh Portugis, dewan kerajaan akhirnya mengangkat Pangeran Tabajiri, saudara tiri Abu Hayat II, sebagai pemimpin ternate selanjutnya.
Namun setelah beberapa waktu, Sultan Tabajiri menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Portugis, dan berakhir dengan difitnah dan diasingkan ke Gua, India—cara sama sebelumnya yang diterapkan terhadap Sultan Abu Hayat II.
Dikabarkan bahwa Sultan Tabajiri tidak pernah pulang karena meninggal ketika dalam perjalanan.
Khairun, saudara tiri Tabajiri, diangkat sebagai penerus raja.
Perlakuan Portugis terhadap saudara-saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku.
Tindak-tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun.
Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511.
Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugis di Nusantara.
Akhirnya, Sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugis.
Kedudukan Portugis kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.
Karena Aceh dan Demak terus-menerus mendesak Portugis di Malaka, maka di Maluku, Portugis mengalami kesulitan mendapat bala bantuan.
Pada akhirnya, Portugis dengan terpaksa mengajukan damai terhadap Sultan Khairun.
Namun, Lopez de Mesquita, gubernur Portugal berniat licik dengan mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan berakhir dengan membunuhnya dengan kejam.
Pembunuhan Sultan Khairun membuat rakyat Ternate geram dan semakin terdorong untuk menyingkirkan Portugis.
Ketika pemerintahan diambil alih oleh Sultan Baabullah (1570-1583), rakyat Ternate dengan kekuatan penuh menggempur pos-pos pertahanan Portugis.
Setelah berperang kurang lebih lima tahun di Maluku, Portugis akhirnya tercerai-berai meninggalkan Maluku pada tahun 1575.
Namun, Portugis kembali yang telah bersatu dengan Spanyol untuk merebut kembali kekuasaan Kepulauan Maluku.
Kekalahan demi kekalahan terus terjadi hingga akhirnya Ternate terpaksa meminta bantuan Belanda pada tahun 1603.
Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol.
Dengan bantuan yang didapat dari Belanda, Ternate berhasil mengusir Spanyol dari Maluku, namun ada hutang yang harus dilunasi ternate.
Belanda perlahan-lahan menerima kedudukan di Ternate sebagai imbalan bantuan yang diberikannya.
Benteng Oranje merupakan tindakan pertama Belanda untuk menetapkan kedudukannya di Ternate.
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat.
Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan.
Sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.
Beberapa kali dilakukan perlawanan terhadap belanda, dari zaman ke zaman, namun selalu kandas.
Terlebih, orang-orang Belanda (VOC) sangat piawai memainkan taktik devide et impera (politik adu domba) untuk memecah-belah sesame orang Ternate sendiri.
Pada tahun 1914, Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1886-1927), menggerakkan pasukan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaannya secara diam-diam.
Dimulai dari Banggai yang dipimpin oleh Hairuddin Tomagola, namun akhirnya gagal.
Sultan Haji Muhammad Usman Syah yang terlibat pemberontakan diturunkan dari jabatannya dan dibuang ke Bandung pada tahun 1915 dan meninggal pada 1927.
6. Peninggalan Kerajaan Ternate
1. Istana Sultan Ternate
Pada tanggal 7 Desember 1976, Istana Kesultanan Ternate dimasukkan sebagai benda cagar budaya.
Para ahli waris Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah, menyerahkan istana kesultanan ini kepada Pemerintah Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dipugar, dipelihara, dan dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Istana ini dipagari oleh dinding berketinggian lebih dari 3 meter, yang menyerupai banteng.
Di lingkungan Istana ini juga terdapat komplek pemukiman raja dan keluarganya, dan komplek makam raja terhadulu.
Desain interior Istana ini didominasi oleh hiasan emas.
Di ruang dalam terdapat peninggalan pakaian dari sulaman benang emas, perhiasan, kalung raksasa, mahkota, anting, cincin, dan lain-lainnya yang semuanya terbuat dari emas.
Istana ini juga memamerkan benda-benda pusaka kesultanan seperti senjata, pakaian kerajaan, topi-topi perang, bahkan sampai naskah-naskah kuno.
2. Benteng Kerajaan Ternate
Benteng Kalamata
Benteng Kalamata dibangun oleh Portugis pada 1540.
Benteng ini juga dikenal sebagai Benteng Kayu Merah karena berada di Kelurahan Kayu Merah, Ternate Selatan.
Namun ketika waktu itu dibangun Portugis, benteng itu diberi nama Santa Lucia.
Nama Kalamata sendiri berasal dari nama Pangeran Kaicil Kalamata, kakak Sultan Ternate Madarsyah.
Benteng Kalamata didirikan dengan tujuan khusus untuk mengawasi Spanyol yang menguasai Tidore.
Hal ini dikarenakan Spanyol merupakan rival utama Portugis dalam pencarian dan perdagangan rempah-rempah.
Benteng Portugis ini berbentuk poligon dengan tebal tembok hanya 60 cm dan tinggi 3 meter.
Ketebalan tembok itulah yang membuat benteng buatan Portugis berbeda dari benteng buatan Belanda yang umumnya tebal.
Di samping itu, benteng ini memiliki 4 bastion berbentuk runcing pada ujungnya, yang setiap bastion mempunyai lubang bidikan.
Benteng Oranje
Berdasarkan papan sejarah yang ada di benteng itu, Benteng Oranje dibangun pada 1607 oleh Cornelis Matclief de Jonge.
Benteng itu berasal dari bekas benteng tua yang dibangun Portugis.
Benteng Oranje sempat menjadi pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda.
Kemampuan benteng tersebut untuk mengusir lawan yang menyerang melalui laut maupun daratan bisa dilihat dari keberadaan sejumlah meriam yang masih tersisa di sana.
Benteng Tolukko
Benteng itu didirikan penjelajah Portugis Francisco Serrao yang datang ke Ternate untuk berdagang rempah-rempah.
Saat Portugis terusir dari Ternate pada 1575, Belanda mengambil alih benteng itu, merenovasinya, dan mengganti namanya menjadi Benteng Holandia pada 1610.
Ketika benteng itu akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Ternate, benteng itu diberi nama Benteng Tolukko.
Ada informasi bahwa benteng itu diambil dari nama penguasa Ternate yang bernama Kaicil Tolukko.
Namun, karena sultan itu baru memerintah pada 1652, agak diragukan namanya dijadikan nama untuk benteng itu.
Jika dibandingkan dengan Benteng Kalamata dan Benteng Oranje, Benteng Tolukko terawat dengan baik.
Di pintu masuk benteng ada taman yang asri sehingga benteng itu terlihat cantik.
3. Masjid Ternate
Masjid Ternate atau Masjid Kesultanan Ternate yang juga biasa disebut Sigi Lamo ini mulai dibangun sejak pemerintahan Sultan Ternate yang kedua yaitu Sultan Zainal Abidin.
Namun beberapa sumber lain juga menyebutkan bahwa masjid ini baru dibangun pada awal abad ke-17 saat Sultan Saidi Barakati memerintah.
Memang belum ada sumber pasti yang menyatakan tahun berdirinya Masjid, namun hingga kini kedua pernyataan di atas menjadi yang paling umum dipercaya.
Walaupun tahun pembangunan belum dapat dipastikan, Masjid Kesultanan Ternate pada kenyataannya tetap berdiri kokoh dan mengiringi sejarah perkembangan Islam di Ternate.
Masjid ini masih mempertahankan tiga aturan adatnya, yaitu hanya pengunjung pria yang boleh masuk, dilarang memakai sarung karena wajib mengenakan celana panjang, serta wajib mengenakan penutup kepala.
Aturan itu konon diwariskan leluhur yang disebut yang disebut Doro Bololo, Dalil Tifa, serta Dalil Moro.
Bersatunya Kerajaan Ternate ke Dalam NKRI
Indonesia merdeka pada tahun 1945, dan setelahnya Kesultanan Ternate memutuskan untuk bersatu ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ternate pernah dijanjikan oleh Soekarno dan Hatta akan mendapatkan federasi untuk mempertahankan hak istimewanya, maka karena hal ini mereka yakin untuk bergabung ke dalam NKRI.
Posisi sultan tetap ada dan memang akan dipertahankan secara berkelanjutan.
Namun, Kerajaan Ternate, seperti halnya kerajaan-kerjaan lain di Indonesia, tak lebih berperan hanya sebagai simbol adat dan budaya.
Tidak terasa sudah berada di ujung pembahasan, ya?
Sekian dulu ya, pembahasan Kerajaan Ternate.
Semoga bermanfaat!